Beranda Manajemen Proyek Big Gas Engine delivery Lesson Learned, Procurement Vendor Forwarder

Big Gas Engine delivery Lesson Learned, Procurement Vendor Forwarder

897
0
BERBAGI
asdar.id menyediakan Member Premium Download untuk download file tanpa embel-embel iklan dan halaman, apa lagi harus menunggu timer yang begitu lama. Dengan berlangganan Member Premium Download, semua file dapat didownload dengan singkat langsung menuju ke sumbernya!, klik DISINI untuk DAFTAR :-) Untuk cara download file Member Free Download, bisa membaca Tutorial Download yang ada dibawah Timer (halaman Safelink) saat menekan tombol download.
Rekomendasi aplikasi hitung cepat RAB akurat dan otomatis, sangat mudah digunakan. Tinggal ganti dimensi, RAB Langsung Jadi. Jika anda seorang ahli sipil atau arsitek, rugi jika tidak punya filenya. Silahkan klik DISINI untuk mendapatkan Filenya.
engine diatas ramdowr
engine diatas ramdowr

Sebagai kelanjutan atas postingan sebelumnya, pada postingan kali ini penulis menguraikan lesson learned atas delivery engine karena pekerjaan ini penuh ilmu yang penting yang berguna dalam pekerjaan proyek berikutnya. Lesson Learned pertama adalah mengenai procuremen vendor forwarder.

Penyampaian lesson learned dalam bentuk deskripsi yang berisi kondisi masalah, akar masalah (root cause analysis), dan solusi yang sudah dilaksanakan dan usulan solusi lebih baik. Semoga bermanfaat.

A. Rincian Topik Diskusi

1. Keterbatasan Forwarder yang Memiliki Pengalaman

Pekerjaan heavy cargo adalah suatu pekerjaan yang sangat spesifik dimana tiap pekerjaan tidak akan pernah sama. Kalaupun barang yang diangkut sama, tapi belum tentu lokasi tujuan juga sama. Ini yang menyebabkannya menjadi proyek tersendiri. Pekerjaan ini jarang ada di Indonesia dimana vendor forwarder yang mampu untuk membawa heavy cargo yang sangat berat juga tergolong langka. Pada pekerjaan tertentu, digunakan vendor dari luar negeri yang dianggap lebih kompeten.

Ada cara unik yang diusulkan sebagai lesson learned, yaitu dengan mengundang vendor luar tersebut. Cara mereka melakukan survey, melakukan analisis, hingga menentukan metode pelaksanaan termasuk alat yang digunakan berdasarkan kemampuan lebih mereka ibarat kunci jawaban atau ilmu yang dapat menjadi clue dalam melakukan pembahasan proposal penawaran/ metode pelaksanaan oleh vendor lokal.

Perlu untuk mengkaji proposal forwarder secara detil dengan mengkritisi tiap asumsi dan kesimpulan serta perhitungan yang dilakukan oleh forwarder dalam proposal penawarannya. Hal ini karena umumnya mereka cukup detil namun tidak mendalam dan bahkan tidak benar dalam menghitung seperti perhitungan load distribution.

2. Keterbatasan Resources Alat Pendukung Utama

Di Indonesia, alat-alat seperti multiaxle dan tongkang khusus sulit untuk dicari. Supplier alat-alat ini sangat terbatas. Untuk alat-alat pendukung utama dengan kapasitas yang umum dipakai mungkin masih tersedia. Tapi bila persyaratannya adalah kapasitas besar namun dimensi terbatas dan kondisi yang baik serta dokumen yang lengkap, maka sangat sulit untuk didapatkan. Hal ini yang menyebabkan forwarder butuh waktu lebih lama dalam menyusun proposal penawaran.

Namun, alat-alat tersebut tersedia cukup banyak di Singapura dan Malaysia. Sehingga perlu untuk mendapatkan forwarder yang memiliki jaringan yang cukup luas.

3. Risiko yang Sangat Besar

Setelah melaksanakan pekerjaan ini, penulis beranggapan bahwa risiko pekerjaan ini sangatlah besar kalau tidak dikatakan sebagai chatastropic risk. Kesalahan kecil berdampak sangat besar. Kondisi yang sudah seperti ini ditambah lagi dengan kemampuan para forwarder yang kurang baik dan cenderung menganggap remeh terhadap risiko yang ada.

Tidak ada jalan lain selain membuat risk management yang khusus untuk pekerjaan ini. Para forwarder dapat diminta untuk membuat risk management atas aspek operasional sebagai dasar atau input dalam membuat risk management secara keseluruhan. Risk transfer dengan menggunakan marine cargo insurance wajib dilakukan sebagai strategi atas risk transfer yang utama.

4. Survey yang Kurang Lengkap

Walaupun profesi mereka sebagai forwarder heavy cargo, jangan pernah menganggap survey mereka sudah berada di kelas komprehensif dan detil. Banyak sekali “bolong-bolong”nya. Penulis meyakini ini adalah akibat dari kurang profesionalnya para forwarder dalam melakukan survey. Bisa juga karena diperlukan biaya yang tidak sedikit dalam melakukan survey yang lengkap. Padahal mereka bisa melakukan beberapa pendekatan survey dengan biaya yang murah.

Setidaknya penulis beranggapan perlu untuk menyusun suatu tabel survey lengkap termasuk tata cara pelaksanaan yang mudah yang dibutuhkan dalam merancang metode pengiriman heavy cargo termasuk aspek teknik sipilnya. Tabel ini bisa digunakan sebagai syarat calon forwarder dalam mengajukan proposal penawaran. Solusi lainnya adalah dengan mengadakan dua kali survey saat proses procurement. Dimana hasil survey pertama para forwarder dikombinasikan menjadi satu hasil survey yang saling melengkapi dan diberikan kepada semua calon forwarder. Survey kedua untuk melengkapi kekurangan survey pada tahap pertama. Survey kedua bisa jadi dilakukan sendiri bersama salah satu calon forwarder yang berpeluang paling besar untuk mendapatkan pekerjaan.

5. Pemahaman Teknik Sipil yang Kurang

Umumnya calon forwarder tidak menguasai aspek teknik sipil dalam pekerjaannya. Hal ini terlihat pada beberapa diskusi kasus yang aslinya tidak berisiko namun dianggap berisiko oleh forwarder dan demikian pula sebaliknya. Kurang dipahaminya aspek teknik sipil ini dapat disebabkan oleh beberapa hal dimana yang paling penting adalah tidak sadar dan tidak pahamnya forwarder mengenai pentingnya aspek teknik sipil dalam heavy cargo delivery.

Dalam konteks procuremen forwarder, maka usulan alternatif solusi yang terbaik dalam menghadapi pekerjaan seperti ini adalah mensyaratkan calon forwarder untuk bekerja sama dengan konsultan sipil sejak tender hingga pelaksanaan dan mensyaratkan pula untuk menyertakan engineer sipil dalam timnya nanti.

6. Kemampuan Melaksanakan Konstruksi Sipil yang Lemah

Forwarder juga terlihat kurang menguasai konstruksi sipil. Pekerjaan yang dilakukan cenderung menggunakan metode trial-error berdasarkan pengalaman semata. Sehingga kualitasnya kurang diyakini mampu berfungsi dengan baik dalam menahan beban berat atas heavy cargo. Kondisi ini disebabkan karena para forwarder merasa hal yang paling penting adalah pada metode pengangkutan heavy cargo, bukan pada apakah bangunan sipil yang dibangun sebagai penunjang metode itu kuat dalam menerima beban besar. Mereka cenderung spekulatif dalam berdiskusi mengenai ini.

Dalam menyikapi problem ini, langkah yang telah dilakukan adalah take-over seluruh pekerjaan sipil sehingga dalam tender, biaya ini bisa diluar penawaran mereka. Namun tentu saja jadi merepotkan, disamping terjadi ajang risk transfer. Solusi lain adalah dengan mengarahkan forwarder untuk menggunakan vendor sipil yang sudah diyakini kemampuannya.

7. Kondisi Kontrak yang Kurang Fokus dan Detil Serta Banyak Potensi Dispute

Ini adalah aspek yang tidak boleh dianggap remeh. Pekerjaan forwarder sangat spesifik dan penuh risiko tinggi. Tidak kondusif jika menggunakan standar kontrak yang biasa. Pekerjaan yang memiliki variasi yang tinggi agak menyulitkan dalam membuat kontrak. Potensi dispute sangat tinggi.

Untuk mengatasinya, diperlukan review terhadap kontrak pekerjaan ini dengan memperhatikan segala kejadian yang telah dan mungkin terjadi di dalam pelaksanaan berdasarkan pengalaman. Review tentu saja meliputi segala hal penting kontrak dimana aspek utama adalah kejelasan lingkup, alokasi risiko, sangsi termasuk kriterianya. Sangsi adalah hal penting karena pekerjaan heavy cargo delivery umumnya berada pada critical path. Sehingga keterlambatan pekerjaan ini secara langsung menyebabkan keterlambatan pada pekerjaan induk.

Jika porsi harga heavy cargo adalah 25% hingga 40% dari total nilai kontrak suatu proyek induk dimana keterlambatan pada kontrak proyek induk adalah 1 permil/hari, maka idealnya denda pinalti untuk forwarder adalah 2,5-4 permil/hari. Namun tentu saja terfaktorkan sharing risiko menjadi sekitar 50%-75% nya dimana maksimum pinalti tetap 5%.

Dalam kontrak juga perlu dibuatkan RAB yang akan berguna dalam perhitungan variation order nantinya. Hal ini karena berat cargo biasanya pendekatan dari manufacturer. Secara aktual selalu berbeda. Manufacturer cenderung sedikit melebihkan muatannya sebagai angka aman. Sehingga perlu dinyatakan dalam kontrak bahwa jika terjadi perbedaan volume akan dilakukan penyesuaian kontrak.

Kontrak juga sebaiknya terdiri atas dua bagian utama yaitu bagian yang bersifat aturan main umum, dan bagian yang bersifat aturan main khusus yang berdasarkan kondisi spesifik pekerjaan.

8. Pembahasan Kontrak Setelah Tender Award yang Keliru

Dengan tingginya risiko pada pekerjaan ini, maka akan sangat baik apabila draft kontrak disampaikan saat awal proses procurement. Pembahasan kontrak yang dimulai setelah tender award akan menjadi sarana dimana calon forwarder akan mentransfer atau setidaknya share sebagian risiko yang ada. Akibatnya pembahasan kontrak menjadi cukup lama yang berdampak terhadap terlambatnya mulai pekerjaan ini.

Memperhatikan hal tersebut di atas, menjadi penting untuk membuat standar kontrak pekerjaan ini berdasarkan pengalaman yang ada dimana draft kontrak yang telah distandartkan disampaikan sejak awal sehingga para calon forwarder dapat memahami aturan main dan risikonya. Diharapkan setelah tender award, proses kesepakatan kontrak akan berlangsung jauh lebih cepat.

9. Schedulling

Pada schedulling pelaksanaan pekerjaan heavy cargo sangat tergantung dengan metode pelaksanaan. Dengan begitu spesifiknya pekerjaan ini dengan risiko besar yang cenderung unpredictable terutama kaitannya dengan alam serta minimnya pengalaman para forwarder, maka terjadilah perbedaan persepsi yang cukup lebar atas durasi pekerjaan ini oleh para calon forwarder. Baik perjalanan laut maupun darat, memiliki kompleksitas yang tinggi. Pada perjalanan laut – seperti pengakuan para forwarder – owner kapal memiliki posisi yang lebih kuat dalam negosiasi durasi dan sharing risiko keterlambatan. Jarak tempuh yang jauh mengandung potensi hambatan atas kondisi cuaca yang tinggi sepanjang perjalanan. Sedangkan pada perjalanan darat, memiliki tingkat spesifik dan kerumitan yang sangat tinggi baik teknis maupun non-teknis.

Penetapan schedule tidak dapat hanya dengan mengetahui jarak tempuh teoritis atas perhitungan jarak dan kecepatan kapal/ alat angkut. Permasalahan penting yang kritis harus jadi pertimbangan seperti cuaca, hambatan sosial, perijinan, dan persiapan pekerjaan. Sehingga schedule haruslah merupakan hasil perhitungan teoritis dan cadangan waktu tambahan antisipasi hal lain.

Sangat baik dalam procuremen forwarder dilakukan lebih awal mengingat butuh waktu yang lama dalam prosesnya. Walaupun data belum lengkap, tapi data primer sudah dapat digunakan sebagai dasar melakukan survey awal. Keputusan yang cepat atas keputusan forwarder, sangat membantu dalam menjamin waktu pelaksanaan pekerjaan ini.

B. Kesimpulan Umum

Berdasarkan penjelasan diatas, maka beberapa kesimpulan penting adalah sebagai berikut:

  • Pekerjaan heavy cargo sangat spesifik dan unik serta merupakan suatu proyek tersendiri yang sangat kompleks yang harus diperlakukan secara khusus, detil, dan fokus.
  • Keterlibatan main contractor dalam pekerjaan ini akan tinggi mengingat kelemahan para forwarder dalam aspek keilmuan dan kontruksi sipil.
  • Risiko pekerjaan sangat besar dan sangat mempengaruhi pekerjaan di proyek induk.
  • Keterkaitan dengan alam dan lingkungan sangat tinggi sehingga membutuhkan koordinasi yang intensif.

Sumber referensi: manajemenproyekindonesia.com

Sekian postingan kali ini, semoga bisa bermanfaat untuk kita semua. Jangan lupa share artikel ini ke sosial media agar yang lain bisa membacanya. Untuk mengikuti perbaruan konten situs ini, silahkan berlangganan melalui notifikasi yang muncul saat mengakses situs ini. Sekian dan terima kasih atas kunjungannya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama anda disini